Jumat, 14 Januari 2011

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SIMBOL SEKATEN (di Keraton Surakarta Hadiningrat)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM MAKNA SIMBOL PERAYAAN SEKATEN
(di Keraton Surakarta Hadiningrat)

A. LATAR BELAKANG
Setiap bangsa atau suku memiliki kebudayaan. Setiap kebudayaan menggunakan simbol-simbol atau lambang-lambang sebagai sarana atau media untuk mentransformasikan pesan-pesan atau nasehat-nasehat bagi bangsa atau sukunya tersebut. Begitu pula perayaan sekaten yang diselenggarakan di Keraton Surakarta Hadiningrat, meneruskan warisan dari kerajaan Demak yang konsepnya diusung oleh Wali Songo juga penuh dengan simbol-simbol yang sarat dengan pesan-pesan pendidikan terhadap umat. Hal ini bisa difahami sebagaimana ungkapan wong Jawa nggone semu yang artinya orang Jawa adalah gudang lambang. Banyak tindakan dan ucapan orang Jawa yang diwujudkan dengan lambang-lambang.
Simbol bukan saja membangkitkan gambaran (image) dalam kesadaran pemeluk agama, dengan mengantar dan menetapkan manusia dengan realitas yang dilambangkan, tetapi juga mengkomunikasikan realitas Ilahi kepada manusia. Sepanjang sejarah budaya manusia, simbol telah mewarnai tindakan-tindakan manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan dan religi.
Simbol bukan hanya bentuk luar yang menyembunyikan realitas religius yang lebih nyata, melainkan kekuatan nyata yang menjumpai yang suci, sebagaimana diungkapkan Marcea Ediade, dalam buku Dhafamoni Mariasuasai, bahwa simbol-simbol maupun berbagai ritus menghadirkan kembali evaluasi yang baik dalam hal kenyataan yang transenden dan mutlak, suatu evaluasi tentang dirinya yang berbeda dari evaluasi yang diungkapkan berkaitan dengan situasi historis dalam kehidupannya.
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap melalui ungkapan simbolis. Manusia memakai kehidupannya melalui simbol-simbol. Dengan arah itu pengalaman-pengalamannya dapat didefinisikan serta diatur dengan syarat hidup komunitasnya. Manusia tidak bisa melihat dan menemukan serta mengenal dunia secara langsung, tetapi melalui simbol. Realitas yang dihadapinya tidak sekedar kumpulan fakta melainkan mempunyai fakta kejiwaan yang di dalamnya simbol berperan memberikan keluasaan dan ketidak leluasaan pemahaman.
Seiring dengan adanya perubahan zaman terjadilah perubahan-perubahan dan pergeseran dalam memahami budaya Jawa, yang disebabkan adanya ketidakpahaman masyarakat Jawa sekarang ini terhadap arti dan makna dari simbol tersebut. Kadangkala hal ini menimbulkan anti emosi keagamaan dimana realitas pemahaman masyarakat sekarang ini cenderung bertentangan dengan hal-hal yang sangat substantif dalam teologi agama tertentu (Islam), yang akan membawa kepada kemusyrikan. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam upacara-upacara dalam tradisi masyarakat Jawa, dengan menggunakan simbol-simbol tertentu merupakan salah satu cara untuk menghidupkan benda-benda dan makhluk-makhluk sakral yang dapat memberi keselamatan dan kemanfaatan atas benda tersebut.
Pemahaman mengenai simbol dalam tradisi masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh unsur-unsur budaya dalam kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, maka penelitian mengenai simbol merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Bagi orang Jawa, dunia mengandung simbolisme. Melalui simbolisme ini seseorang merenungkan kondisi manusia dan bisa berkomunikasi dengan Tuhan, seperti yang tertulis dalam Serat Centini, “Jika engkau ingin menembus realitas masuklah dalam simbol”. Fenomena ini dianggap simbol yang merupakan gambaran dan tindakan yang abstrak untuk mengekspresikan gagasan emosi dan pemikiran yang bersifat transcendental.
Pesan atau nilai budaya yang terkandung dalam unsur-unsur upacara sekaten ini berkaitan pula dengan aspek-aspek lain seperti; aspek sosial, aspek ekonomi, politik dan aspek pendidikan beragama dan keagamaan. Berkenaan dengan pesan-pesan yang disampaikan maka pemahamannya dapat dilakukan melalui berbagai simbol yang terdapat pada upacara sekaten tersebut.
Keberadaan perayaan sekaten khususnya di keraton Surakarta Hadiningrat tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang mendahuluinya, baik dari sisi sejarah kerajaan-kerajaan islam, sosiokultural yang melingkupi munculnya ide perayaan sekaten yang merupakan salah satu hasil musyawarah para wali dalam rangka untuk meningkatkan syiar Islam , dan sejarah perkembangan perayaan sekaten itu sendiri sampai sekarang.
Setiap prosesi upacara-upacara adat dalam keraton menggunakan simbol-simbol yang memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh sangat disayangkan makna-makna tersebut sudah banyak yang tidak mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Fenomena yang berkembang pada masa sekarang ini terjadi perubahan-perubahan di dalam masyarakat yang diakibatkan dari penggunaan simbol itu sendiri. Salah satu contohnya adalah dalam upacara Garebeg baik Garebek Syawal (merayakan ‘idul fitri), Garebeg Besar (merayakan ‘idul adha) maupun Garebeg Sekaten (merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW) dikenal dengan adanya sedekah raja yang berupa gunungan, yang melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat Garebeg tersebut mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik atau kelancaran dalam usaha maupun yang lainnya.
Mereka datang untuk tujuan yang sama: ngalap berkah (mencari berkah) ditabuhnya gamelan sekaten. Hari itu, sepasang gamelan sekaten, Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari, mulai ditabuh untuk menandai rangkaian perayaan Sekatenan atau peringatan Maulid Nabi Muhammad yang jatuh pada Jumat (22/4). Perayaan Sekatenan biasanya dimulai sepekan sebelum maulid, ditandai dengan ditabuhnya dua perangkat gamelan (yang dipercaya) membawa berkah itu.
Begitu gamelan sekaten ditabuh, ribuan orang yang berdesakan di sekitar Bangsal Sekaten, Masjid Agung, langsung mengambil kapur-sirih dan mengunyahnya. Mengunyah kapur-sirih berbarengan dengan tabuhan pertama gamelan sekaten dipercaya akan membuat awet muda.
Kapur-sirih mudah didapatkan di sekitar Masjid Agung tiap kali ritual sekaten dimulai karena ribuan penjual kinang berdatangan ke sana. Mereka bukan hanya sekadar berdagang, tapi juga ingin ngalap berkah dari ritual sekaten. Pemahaman yang berkembang semacam ini adalah jauh dari tujuan kosep perayaan sekaten ini diadakan oleh para wali songo yang bertujuan sebagai media dakwah islam, yang muncul dalam kenyataan adalah justru sebagai media pemusyrikan sistematis.
Atas dasar kenyataan tersebut di atas, maka sangat perlu menanamkan nilai-nilai budaya yang melalui simbol-simbol itu kepada masyarakat Indonesia pada umumnya dan terkhusus lagi bagi generasi penerus dengan melalui pengenalan budaya. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya serta gagasan vital yang luhur.
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan oleh Keraton Surakarta Hadiningrat, kita harus menulusurinya dari zaman Demak. Kerajaan ini merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ”Sirna Hilang Kertaning Bumi”. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara.
Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk memajukan tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana caranya agar agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Demi cita-cita itu, Raden Patah akhirnya mengadakan pertemuan dengan para wali sembilan, di antaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan itu membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam
Keraton Surakarta Hadiningrat sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang tidaklah dibangun serentak, melainkan dibangun secara bertahap mulai tahun 1744 sampai 1945, dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya.
Keraton Surakarta atau lengkapnya dalam bahasa Jawa disebut Keraton Surakarta Hadiningrat adalah istana Kasunanan Surakarta. Karaton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pacinan 1743. Istana terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi barat Bengawan Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan Pakubuwono II kepada VOC di tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keratin ini dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.
Selain memiliki kemegahan bangunan, Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantaranya adalah upacara-upacara adat, tarian-tarian sacral,musik dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, upacara Malam Satu Suro serta upacara-upacara adat yang lain. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.
Peranan upacara dalam tradisi Jawa bertujuan untuk selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungannya dengan lingkungan mereka. Dengan adanya upacara, masyarakat bukan hanya diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang bersifat abstrak yang berbeda pada tingkat pikiran untuk kehidupan sosial mereka sehari-hari. Hal ini terjadi karena upacara-upacara itu salalu dilakukannya secara rutin.
Secara struktural, perayaan sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun oleh konfigurasi budaya ekspresif yang secara dominan mengandung nilai solidaritas sosial, estetika dan relegius. Perayaan sekaten merupakan upacara puncak dalam perayaan sekaten yang terdapat di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mempunyai prilaku, tindakan dan peristiwa yang menjadi fenomena tersendiri.
Dari latar belakang masalah tersebut, pelaksanaan upacara perayaan sekaten merupakan fenomena sosial budaya yang memiliki nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Jawa khususnya yang sangat penting untuk dikaji. Simbol-simbol yang terdapat dalam upacara perayaan sekaten mangikutsertakan unsur-unsur Islam, hal ini dapat diketahui secara jelas dari makna simbol upacara sekaten tersebut.
Dengan mengkaji dan menggali makna simbol perayaan sekaten dan mengetahui tujuan pengunaan simbol dalam upacara tersebut diharapkan dapat meluruskan pemahaman yang cenderung menyimpang selama ini terjadi dan dimasa yang akan datang. Dengan latar belakang tersebut maka penulis akan mengambil judul, “MAKNA SIMBOL PERAYAAN SEKATEN TERHADAP PENDIDIKAN UMAT” Studi Kasus di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang tersebut maka penulis paparkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa saja simbol-simbol dalam perayaan sekaten di Keraton Surakarta hadiningrat.
2. Apa makna simbol perayaan sekaten di Keraton Surakarta Hadiningrat terhadap pendidikan umat.
3. Sejauhmana penyimpangan pemahaman masyarakat terhadap makna simbol-simbol dalam perayaan sekaten di keraton Surakarta hadiningrat.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Penelitian ini bermaksud ingin mengungkapkan dan mengetahui secara detail tentang prosesi upacara sekaten dengan semua simbol-simbol yang digunakannya serta makna dari simbol-simbol yang digunakan dalam perayaan sekaten tersebut.
2. Memberikan pemahaman yang benar dan mendidik kepada masyarakat tentang nilai-nilai dan pesan-pesan pendidikan terhadap umat adanya prosesi upacara Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.


D. KEGUNAAN PENELITIAN
Dalam penelitian tentang makna simbol-simbol upacara Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan sebagai berikut:
a. Memberikan tambahan dan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
b. Memberikan pemahaman yang benar dan mendidik kepada masyarakat tentang makna simbol-simbol dalam prosesi upacara sekaten di keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara das sein dan das sellon yang terjadi di tengan masyarakat.
c. Memberikan kontribusi dan saran-saran kepada panitia penyelenggara agar penyelenggaraan perayaan sekaten di masa yang akan datang tidak hanya sekedar melestarikan budaya namun lebih kental dan sarat dengan nilai-nilai pendidikan sehingga dapat bermanfaat pada kehidupan masyarakat.

E. TELAAH PUSTAKA
Penelitian yang berkaitan dengan makna simbol-simbol yang dilakukan oleh Siti Nurul Syafira, 2001 yaitu makna simbol-simbol dalam upacara perkawinan adat Keraton Surakarta Hadiningrat. Upacara perkawinan Keraton Surakarta penuh dengan simbol-simbol yang meupakan simboldari hakekat ketuhanan. Benda-benda simbol yang dipergunakan dimaksudkan untuk mengharap restu da perlindungan serta untuk berkomunikasi dengan realitas tertinggi yaitu Tuhan.
Sejarah dan Perayaan Sekaten dan Tabuh Gamelan Sekaten oleh Ari Setyaningsih, 2008. Memaparkan bahwa Upacara Sekaten mempunyai cirri khas sendiri karena pada saat berlangsung selama satu mingu halaman masjid dan alun-alun utara Keraton Surakarta dibanjiri para pedagang. Khusus di halaman Masjid Agung Surakarta hanya diperbolehkan berdagang dari beberapa jenis barang dan makanan yang memiliki makna secara filosofi menurut para wali terdahulu, diantaranya adalah : kinang, telor asin atau endhok amak/kamal (bhs Jawa), pecut, gangsingan. Barang-barang tersebut dijadikan sebagai kiasan. Diantaranya adalah Kinang yang terdiri dari lima macam bahan, sirih, tembakau, buah pinang, kapur dan buah gambir, yang menyimbulkan rukun Islam yang berjumlah lima; syahadat, salat, puasa, zakat dan haji. Gangsingan mengkiaskan manusia tidak akan mungkin hidup selamanya, pada waktunya nanti akan mati, sebagaimana halnya gangsingan yang berputar juga akan berhenti. Pecut mengkiaskan alat pengendali hawa nafsu manusia.
Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769 – 1874 oleh S. Margana, 2004, yang mengungkap tentang peraturan dan tata cara, pakaian yang harus dikenakan, peraturan tentang jumlah orang yang harus dikerahkan, jenis barang apa saja yang digunakan (sebagai simbol) dalam perayaan Gregeg Mulud dan Puasa di Kraton Surakarta.
G.P.H. Puger dalam bukunya Sekaten (2002: 1) , menjelaskan tentang asal mula dan maksud perayaan yang diadakan tiap-tiap tahun baik di Surakarta maupun di Yogyakarta. Asal mula Sekaten dimulai pada jaman Demak, jaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan pidato-pidato tentang agama Islam.
H.A. Basid Adnan dalam bukunya,”Sejarah Masjid Agung Dan Gamelan Sekaten Di Surakarta”, juga mengemukakan hal ikhwal sekaten namun lebih menitik beratkan pada sejarah dan keberadaannya gamelan sekaten tersebut yang berada dan berlangsung di Masjid Agung Surakarta, dan sejarah Masjid agung surakarta yang ada hubungannya dengan keberadaan Keraton kasunanan Surakarta itu sendiri, belum membedah arti dan simbol-simbol yang diganakan dalam perayaan sekaten tersebut.
Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai pranata sosial penuh dengan simbol-simbol yang berperanan sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia gaib. Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal dari dunia gaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya terhadap simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku.
Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; (4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan. (K.R.T. Haji Handipaningrat: 3).
Dari pemaparan dan hasil penitian di atas masing-masing baru mengungkapkan dari sisi sejarah, asal-muasal nama sekaten, urgensi atau kepentingan dari pelestarian budaya Sekaten, macam-macam dan makna filosofi simbol yang digunakan. Belum menkaji lebih dalam tentang makna simbol tersebut yang memiliki peranan dalam proses pendidikan umat. Upacara Sekaten yang sarat dengan simbol-simbol dan memiliki makna sacral. Pengungkapan makna simbol yang penuh dengan nilai sacral tersebut akan menjadi mitos yang salah arah (kemusyrikan) dan tidak bisa mengampil manfaat terhadap proses pengembangan diri bilamana tidak disertai dengan pendidikan dan pemahaman kepada umat akan makna yang sebenarnya dari penggunaan simbol dalam upacara Sekaten tersebut.
Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut peneliti tertarik untuk meneliti makna atau nilai-nilai simbol upacara Sekaten di Keraton Surakarta terhadap pendidikan umat.

F. KERANGKA TEORI
Kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia. Begitu erat kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, maka tidak berlebihan bila manusia tersebut sebagai makhluk bersimbol. Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan-ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang jelas membedakannya dari hewan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah bisa melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung tetapi melalui simbol-simbol (Herusatoto, 1987: 10)
Simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi atau adat istiadat. Simbolisme ini terlihat dalam upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun-temurun dari generasi yang tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 1987 : 10). Sejalan dengan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton Moeliono,1996 : 630), bahwa “simbol atau lambang ialah : (1) sesuatu seperti tanda (lukisan,lencana, dan sebagainya) yang mengatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya gambar tunas kelapa lambang pramuka, warna biru lambang kesetiaan; (2) simbol bisa berarti tanda pengenal tetap yang menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya, seperti peci putih dan serban ialah lambang haji.”
Segala bentuk dan macam kegiatan simbolik dalam masyarakat tradisional pada dasarnya upaya pendekatan manusia kepada Tuhannya, yang menciptakan, menurunkannya ke dunia, memelihara hidup, dan menentukan kematian manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa simbolisme dalam masyarakat tradisional disamping membawakan pesan-pesan kepada generasi berikutnya juga selalu dilaksanakan dalam kaitannya dalam religi (Herusatoto, 1987 : 30-31). Unsur unsur dari kebudayaan yang paling menonjolkan sistem klasifikasi simbolik orang Jawa menurut Koentjaraningrat adalah bahasa dan komunikasi, kesenian dan kasusasteraan, keyakinan keagamaan, ritual, ilmu gaib serta beberapa pranata dalam organisasi sosialnya. (1984: 428).
Menurut James P Spradley dalam bukunya Metode Etnografi, memaparkan 12 tahapan dan langkah-langkah penelitian sebagai berikut:
1. Menetapkan informan
2. Mewancarai informan
3. Membuat catatan etnografi
4. Mengajukan pertanyaan diskriptif
5. Melakukan analisis wawancara
6. Membuat analisis domain
7. Mengajukan pertanyaan struktural
8. Membuat analisis taksonomik
9. Mengajukan pertanyaan kontras
10. Membuat analisis komponen
11. Menemukan tema-tema budaya
12. Menulis suatu etnografi
Menurut teori yang dipaparkan oleh Herusatoto hanya menjelaskan arti pentingnya simbol dan peran simbol dalam kehidupan manusia, sedang Koentjaraningrat juga hanya membahas simbol sebagai media untuk mengkomunikasikan pesan yang akan disampaikan mengenai pranata dalam organisasi sosialnya.
Kedua teori yang disampaikan oleh Herusatoto dan Koentjaraningrat tidak menjelaskan langkah-langkah yang strategis bagaimana menggali dan membedah serta meneliti tentang obyek budaya yang akan dikaji.
Yang menjelaskan dan menerangkan langkah-langkah secara sistematis bagaimana membedah dan menggali obyek penelitian etnografi adalah teorinya James P Spradley. Oleh karena itu penulis akan menggunakan teorinya James P Spradley tersebut dalam penelitian ini.
G. METODOLOGI PENELITIAN
Ada beberapa yang perlu diketahui yang berkaitan dengan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini supaya tidak menimbulkan kerancuan dalam metode penulisannya :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian lapangan. Oleh karena itu informasi-informasi obyek penelitian akan lebih banyak ditemukan di lapangan tempat obyek penelitian ini berada, maka penelitian ini memiliki jenis penelitian konsep sepanjang sejarah.
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu terletak pada kelurahan Baluwarti kecamatan Pasar Kliwon Surakarta. Tempat ini disesuaikan dengan objek yang menjadi kajian dalam penelitian, dimana lokasi tersebut merupakan tempat penyelenggaraan upacara tradisi Sekaten.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan desain yang secara terus-menerus disesuaikan dengan kenyataan lapangan. Desain ini tidak tersusun secara ketat dan kaku, sehingga dapat diubah dan disesuaikan dengan pengetahuan baru yang ditemukan (Moleong, 2001: 7).
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penulisan thesis ini dengan menggunakan data:
a. Sumber Data Primer
1) Wawancara
Sumber data primer diperoleh dengan wawancara dengan semua pihak yang terkait baik secara langsung atau tidak langsung dengan kegiatan perayaan sekaten di keraton Surakarta Hadiningrat.
2) Observasi Lapangan
Observasi dilakukan di tempat obyek yang menjadi kajian penelitian, dengan pengamatan langsung dilapangan penulis dapat melihat langsung kegiatan perayaan sekaten yang diselenggarakan oleh Keraton Kasunanan surakarta Hadiningrat.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder diambil dari karya-karya seseorang atau dari literatur buku-buku yang ada hubungannya dengan obyek penelitian. Data literatur dan dokumentasi diambil dari perpustakaan yang ada hubungannya dengan obyek penelitian.
3. Metode Pengumpulan data
Ada tiga teknik pengumpulan data yang diterapkan sebagai alat untuk menjaring data secara akurat dan lengkap sehubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu : (1) Teknik wawancara mendalam (in-depth interview); (2) Teknik pengamatan langsung; dan (3) teknik analisis isi dokumen atau arsip.
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kesahihan data penelitian ini. Cara tersebut antara lain meliputi: teknik triangulasi dan review informan. Moleong (2001: 178) menyatakan bahwa “triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.” Adapun validitas data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu meliputi triangulasi sumber, triangulasi metode, dan review informan.
Triangulasi sumber digunakan untuk memperoleh data yang sama dari sumber yang berbeda. Triangulasi ini diterapkan peneliti dengan membandingkan data hasil pengamatan (prosesi sekaten) dengan data hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen (buku sekaten) yang berkaitan dengan pelaksanaan Upacara Tradisi Sekaten di Surakarta. Adapun triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan metode atau teknik pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan data yang sama atau sejenis, yaitu dengan teknik pengamatan langsung, teknik wawancara mendalam, dan teknik analisis dokumen.
Teknik review informan dilakukan dengan cara menginformasikan ulang data dari informan untuk memperoleh perbaikan dan kebenaran data seandainya ada kesalahan atau ketidaklengkapan dari hasil informasi sebelumnya. Untuk itu, peneliti sebagai instrumen penelitian senantiasa melakukan koreksi secara terus-menerus mengenai hasil penelitiannya.
4. Metode Analisa Data
Teknik analisa yang digunakan dalam penulisan thesis ini menggunakan analisis wawancara etnografi yaitu menggaris bawahi semua istilah asli informan yang telah diperoleh untuk mempertinggi peranannya dalam mengetahui tentang obyek budaya yang diteliti. Setelah itu baru membuat analisa domain, dengan menambah beberapa domain penting dan merivisi teknik dan gaya sehingga koheren serta mempersingkat tinjauan mengenai data yang diperoleh dari penelitian budaya tersebut. Setelah menganalisa domain dilanjutkan dengan analisa taksonomik yaitu dengan memilah dan memilih suatu domain yang telah dianalisis dan menciptakan dialog yang bermutu antara beberapa orang yang mengetahui tentang obyek budaya yang diteliti. Pada akhirnya peneliti akan membuat analisis komponen yaitu dengan memilih satu domain budaya yang berbeda dan menulis suatu diskripsi formal mengenai domain tersebut dengan menjelaskan makna istilah serta hubungan diantara berbagai istilah dan simbol-simbol dari obyek budaya yang diteliti.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan thesis ini akan disusun menjadi beberapa bagian yaitu:
Bab Pertama, berisi tentang pendahuluan yang terdiri; latarbelakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika dan daftar pustaka.
Bab Kedua, berisi tentang upacara sekaten dan simbol-simbo upacara sekaten. Pada bagian pertama membahas tentang; pengertian upacara sekaten, bentuk upacara, fungsi upacara. Kedua berisi tentang ; pengertian simbol, bentuk dan macam simbol, fungsi dan makna simbol.
Bab ketiga, berisi tentang upacara sekaten yang mencakup, pertama gambaran umum keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang meliputi; letak geografis, kondisi ekonomi, kondisi keagamaan, lambang bangunan keraton. Bagian kedua gambaran umum perayaan sekaten dan makna-makna yang terdapat dari simbol-simbol sekaten, persiapan pelaksana upacara sekaten di keraton Surakarta Hadiningrat, prosesi gunungan sekaten, bentuk-bentuk penyimpangan makna simbol-simbol sekaten, makna upacara palaksanaan puncak sekaten dengan upacara gunungan yang dibawa dari keraton Surakarta menuju Masjid Agung Surakarta.
Bab Keempat, berisi tentang dimensi makna simbol dalam upacara sekaten, dimensi manusia dalam upacara tersebut, makna simbol dalam perayaan sekaten ditinjau dari aspek pendidikan umat.
Bab Kelima, berisi penutup yang berisi yang berisi tentang kesimpulan, saran dan lampiran-lampiran.

















DAFTAR PUSTAKA


A. Basid Adnan, 1996, Sejarah Masjid Agung Dan Gamelan Sekaten Di Surakarta, Yayasan Mardikintoko, Sala.
Andrew Beaty, 2001, Vareasi Agama di Jawa, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Budiono Herususanto, 1987, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Yogyakarta, Hamidata.
Cliffotz Greertz, 1983, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982, Pakaian Adat Tradisional Daerah JawaTimur.
Dhafamoni Mariasuasai,1995, Fenomenologi Agama, Yogyakarta, Kanisius.
Endraswara Suwardi, 2003, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme Dalam Budaya Spiritual Jawa, Yogyakarta, Narasi.
-------- Sejarah Sekaten, from: http://www.bamburuncing.co. cc. di/ pada Februari 12, 2008,16/02/2010 11:26:35
Ismail Yahya, MA, 2009, Adat-Adat Jawa Dalam Bulan-Bulan Islam, Inti Medina, Jakarta.
James P Spradley, 2007, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta, Edisi kedua, Cetakan I.
Laksono, 1985, Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa, Yogyakarta, Gajahmada University.
Mahfuddin Akhyar, Tradisi Peringatan Maulid Nabi SAW, from: http//mahfuddinakhyar.blogspot.com/search/label/Ghazwul Fikri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar