Jumat, 14 Januari 2011

PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT AL QUR'AN

PERKAWINAN DALAM AL QUR’AN (AL BAQARAH: 221)
Oleh: M. Muhtarom


I. PENDAHULUAN
Islam sangat sangat memperhatikan masalah pernikahan. Hal ini untuk mengatur, menjaga dan membersihkan dari kekacauan jahiliyyah. Sesungguhnya tatanan kemasyarakatan dalam Islam adalah tatanan keluarga yang merupakan tatanan yang memperhatikan semua kekhususan fitrah manusia dan kebutuhannya serta semua unsur penopangnya. Aturan keluarga dalam Islam bersumber pada fitrah dan dasar-dasar penciptaan dasar penciptaan makhluk serta semua makhluk hidup (Sayyid Quthb, terj. As’ad Yasin, 2000 : 119)
Pernikahan atau tepatnya keberpasangan merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk-Nya. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya :
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari kebesaran Allah (QS. Al Dzariyat : 49 )
Pada ayat lain juga ditegaskan :
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin: 36)

Islam dengan teorinya memandang manusia pada tahapan perkembangannya, maka disebutkanlah manusia pertama yang kemudian diciptakan pasangan untuknya, kemudian anak cucunya, lalu semua manusia (Sayyid Quthb, terj. As’ad Yasin, 2000 : 887)
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarah pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan”, dan beralihlah dari kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah dalam istilah Al Qur’an surat Ar Rum: 21. Sakinah terambil dari kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. (Al Munjid fi al lughah, 1977 : 342)
Anak manusia merupakan makhluk hidup yang paling lama hidup dalam kekanak-kanakannya. Makhluk hidup yang mengalami perkembangan jauh lebih lama daripada anak-anak makhluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan masa kanak-kanak merupakan masa persiapan dan pelatihan untuk melakukan peranan dalam kehidupan nanti. Karena tugas dan peranan manusia di muka bumi ini paling besar, maka masa kanak-kanaknya sangat panjang. Untuk mendapatkan persiapan dan pelatihan yang baik guna menghadapi masa depan. Karena keluarga yang mantab dan harmonis itu lebih lekat dengan tatanan kemanusiaan dan lebih lekat kepada fitrah manusia, penciptaan dan peranannya dalam kehidupan.
Guna tujuan tersebut Al Qur’an menekankan perlunya kesiapan fisik, mental dan ekonomi bagi ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan dibidang ekonomi sebagai alasan menolak bagi peminang. Hal ini dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai berikut :
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (An Nuur : 32)

Bagi yang belum memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kehormatannya. “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya”. (QS. An Nur: 33)
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita sebut sebagai “pernikahan beda agama”
Pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang, seorang muslim yang hidup di negara yang majemuk seperti ini hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.
Keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat semakin luas dan beragam, hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau, seorang muslimin dan muslimat sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-muslim (Salma Zuhriyah, http://tafany.com : 2009). Hal ini dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Hal ini sering menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen rasional sesuai logika yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama.
Dalam hal ini penulis akan mengkaji dan membahas tentang hukum perkawinan yang terdapat dalam Al Qur’an surah Al baqarah ayat: 221 dan hal yang berkaitan dengan masalah tersebut.

II. PENGERTIAN PERKAWINAN
Tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan .
Nikah berasal dari kata نكح - نكاحا : تزوجها artinya menikahi/memperistri (Al Munjid fi Al Lughah, 1977 : 836). Nikah juga mempunyai arti menghimpun atau mengumpulkan. Nikah merupakan upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam rumah tangga, sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia di atas bumi ini dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah terhadap hamba-Nya (Abdul Aziz Dahlan, 1996 : 1329)
Menurut ulama fiqh ada beberapa definisi nikah, tetapi mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama’ Mazhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Sedangkan Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan,”Akad yang mempaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang laki-laki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara'”.
Definisi jumhur ulama’ menekankan pentingnya menyebutkan lafal yang dipergunakan dalam akad nikah tersebut, yaitu harus lafal nikah, kawin atau yang semakna dengan itu. Lebih lanjut, Abdul Aziz Dahlan (1996:1329) menyatakan bahwa dalam definisi ulama’ Mazhab Hanafi hal itu tidak diungkapkan secara jelas, sehingga segala lafal yang mengandung makna halalnya seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan hubungan seksual boleh dipergunakan.
Kata nikah juga berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau juga perkawinan. Al Qur’an menggunakan kata itu untuk makna tersebut, disamping secara majazi diartikan dengan “hubungan sek”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Al Qur’an juga menggunakan kata zawwaja dari kata zauwj yang berarti “pasangan”, ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali. Secara umum Al Qur’an menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah (M.Quraish Shihab, 1996 : 191)

III. PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Al Qur’an menerangkan bahwa pernikahan merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya dan ditegaskan lagi oleh Rasul bahwa,”nikah adalah sunnahnya”, tetapi dalam saat yang sama Al Qur’an dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan dan sekaligus ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilakukan/tidak boleh dinikahi dalam pernikahan (M.Quraish Shihab, 1996 : 192). Salah satu contoh siapa-siapa yang tidak boleh dinikahi, yaitu dijelaskan dalam surat Al Baqarah: 221, sebagai berikut :
                               •     •      ••   
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Asbabun nuzul dari ayat tersebut di atas adalah: Al Wahidy menceritakan dari Assady, dari Abi Malik dari Ibnu Abbas, berkata: Ayat ini turun bagi Abdillah bin Rawahah. Dia punya budak hitam. Sekali saat ia marah padanya, budaknya ditempeleng . Jadilah ia menyesal, lalu iapun bertanya kepada Nabi SAW. Nabi menjelaskan: Dia harus kau merdekakan, atau aku jodohkan kau sama dia, kemudian Abdillah mengawininya. Iapun dicela oleh orang-orang, dia telah menikahi budaknya. Lalu turun ayat ini (Rohadi Abu Bakar, 1986 : 51)
Dalam kitab lain menceritakan, ketika Rasulullah mengutus Marsad ibnu Abi Marsad (saudagar kaya raya) ke Mekah untuk membebaskan tawanan muslimin yang ditahan di sana. Kedatangannya telah didengar oleh seorang wanita bernama “Anaq” yang pada masa jahiliyah menjadi gundik Marsad. Ketika Marsad memeluk agama Islam, ia telah berpaling meninggalkannya. Kemudian Anaq menjumpainya dan berkata,”Celaka engkau hai Marsad ! “. Marsad menjawab,”Islam telah menghalangi diriku dengan dirimu dan Islam telah mengharamkannya.” Kata Anaq,” Tetapi jika engkau suka, aku akan mengawinimu”. Marsad menyetujuinya dan minta izin Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku menikahinya?”. Kemudian turunlah ayat di atas (Al Maraghi, terj. Anshori Umar Sitanggal, 1993 : 262)
Al Qur’an secara tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik. Ini merupakan pengharaman Allah Azza wa Jalla atas kaum mukmin agar mereka tidak menikahi wanita-wanita musyrik yang suka menyembah berhala, sehingga mereka mau beriman kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad.
    
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.

Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik sehinngga mereka beriman.
Kata ‘musyrik’ dalam Al Qur’an yang mempunyai makna senada dengan ayat ini ialah firman Allah. Surat Al Baqarah ayat: 105
ما يود الذ ين كفروا من أهل الكتب ولا المشركين
Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.

Wala tankihul musyrikat hatta yu’minn yaitu seorang muslim tidak diperbolehkan mengambil wanita-wanita musyrik menjadi istrinya, begitu pula sebaliknya wanita muslim tidak boleh mengambil pria musyrik menjadi suaminya sehingga mereka masuk Islam.
Lafaz Al Musyrikin mempunyai arti setiap orang yang tidak beriman kepada kenabian Rasulullah SAW. Al Musyrikin mencakup ahli kitab (Nasrani, Zahudi). Dan syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan Agama, seorang musyrik adalah siapa yang percaya bahwa ada Tuhan bersama Tuhan, atau siapa yang melakukan aktivitas yang bertujuan untuk ganda, pertama untuk Allah dan kedua untuk selain-Nya. Dengan demikian semua yang mempersekutukan-Nya dari sudut pandang tinjauan ini adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya tentang trinitas adalah musyrik dari sudut pandang di atas (M.Quraish Shihab, Vol;1, 2000 : 442). Namun demikian, pakar-pakar Al Qur’an yang kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan lain. Menurut mereka, kata musyrik atau musyrikin dan musyrikat digunakan Al Qur’an untuk kelompok tertentu yang mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala. Dengan demikian istilah Al Qur’an berbeda dengan istilah keagamaan diatas. Walaupun penganut agama Kristen percaya kepada Tuhan Bapak dan Tuhan Anak yang oleh agama Islam dinilai sebagai orang yang mempersekutukan Allah, namun Al Qur’an tidak menamai mereka orang-orang musyrik tetapi menamai mereka Ahli Kitab. Sebagaimana firman Allah berikut; “Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu” (QS. Al Baqarah: 105). “Orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. Al Bayyinah: 1)
Perbedaan ini menjadi amat perlu karena di tempat lain dari Al Qur’an ditemukan izin bagi pria muslim untuk mengawini wanita-wanita ahli kitab (QS. Al Maidah: 5). Mereka yang memahami kata musyrik, mencakup Ahli Kitab, menilai bahwa ayat Al Maidah itu telah dibatalkan hukumnya oleh ayat Al Baqarah;221 di atas. Tetapi pendapat tersebut sangat sulit diterima, karena ayat Al Baqarah lebih dahulu turun dari ayat Al Maidah, dan tentu saja sangat tidak logis sesuatu yang datang lebih dahulu membatalkan hukum sesuatu yang belum datang atau yang datang sesudahnya. Ini lebih sulit lagi bagi yang berpendapat bahwa tidak ada ayat-ayat yang batal hukumnya. Belum lagi dengan riwayat-riwayat yang mengatakan, bahwa sekian banyak sahabat Nabi dan tabi’in yang menikah dengan Ahli Kitab. Khalifah Usman bin Affan ra misalnya, kawin dengan wanita Nasrani, walau kemudian istrinya memeluk agama Islam; Thalhah dan Zubair ra, dua orang sahabat Nabi yang terkemuka juga kawin dengan wanita Zahudi. Hal ini dapat kita jumpai sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :
(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,(Al Maidah : 5)

Di sisi lain perlu diketahui bahwa para ulama’ membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita Ahli Kitab, namun berbeda pendapat tentang makna Ahli Kitab. Wanita Ahli Kitab yang boleh dikawini adalah wanita-wanita terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan sangat menghormati serta mengagungkan Kitab suci (M. Quraish Shihab, 1996 : 198).
Pendapat lain yang senada menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ahlul-Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masih percaya atau mengimani Kitabullah yaitu Taurat dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s dan Isa a.s. (Abdur Rahman I. Doi, 1996 : 34). Sedangkan Imam Syafi’i dan Hambali mensyaratkan ibu bapak perempuan itu harus orang Ahlul-Kitab juga, kalau bapak/nenek perempuan itu menyembah berhala dan bukan Ahlul-Kitab kemudian ia memeluk agama Yahudi atau Nasrani, maka tidak boleh mengawini perempuan itu. Pendapat Berbeda disampaikan Al-Imamiah, ulama dari kaum syiah ini mengatakan bahwa laki-laki muslim yang mengawini perempuan Ahlul-Kitab atau perempuan Yahudi dan Nasrani hukumnya adalah haram (Mahmud Yunus : 1983 : 50)
Mahmud Syaltut dalam fatwanya menyebutkan, “Pendapat para ulama’ yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami muslim berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini wanita non muslim yang Ahli Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu, ketenangan, kebebasan beragama serta hak-haknya yang sempurna.”

Walaupun ada riwayat dari Umar, bahwa penah ia berkata, “Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan Nasrani dan (sebaliknya) laki-laki Nasrani tidak (boleh) mengawini perempuan muslimah,” namun Umar juga tidak menyukai Thalhah dan Hudzaifah yang mengawini perempuan Zahudi dan Nasrani disebabkan karena khawatir diikuti orang-orang Islam lainnya sehingga mereka akan menjauhi perempuan-perempuan muslimah atau mungkin ada maksud-maksud lain, sehingga Umar menyuruh keduanya untuk melepaskannya (Ash-Shabuni, terj. Mu’ammal Hamidy, Imron A. Manan, 1985 : 234-235)
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau yang dilukiskan itu tidak terpenuhi sebagaimana sering terjadi pada masa kini, maka ulama’ sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh yang tadinya membolehkan.
Kalau seorang wanita muslimah dilarang kawin dengan pria non muslim karena dikhawatirkan akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria muslim dengan wanita Ahli Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam (M.Quraish Shihab, 1996 : 198-199).
Kalau penggalan ayat yang pertama dari surah Al Baqarah; 221 tersebut ditujukan kepada pria muslim, maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para wali dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Ada dua hal yang perlu digaris bawahi.
Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada wali, memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan mengahsilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat ketat, sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti dari para wali dalam penentuan calon suami putrinya. Tidak sah perkawinan dalam pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya memberi sekedar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika perkawinan berlangsung tanpa restunya. Menurut penganut pandangan ini, tuntutan tersebut tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali setelah memenuhi sejumlah syarat.
Perlu diingat bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antara suami istri, sekaligus antar keluarga masing-masing kedua belah pihak. Peranan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi mereka wewenang yang besar maupun sekedar restu tanpa mengurangi hak anak. Oleh karena itu Rasul saw memerintahkan orang tua untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun tolok ukur anak tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua. Maka tolok ukur anak, ibu dan bapak harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan dalam perkawinan.
Kedua, yang perlu digaris bawahi adalah larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan Ahli Kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria Ahli Kitab mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut menurut ayat di atas berlanjut hingga mereka beriman, sedang Ahli Kitab tidak dinilai beriman dengan iman yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka walau tidak dinamai musyrik, dimasukkan dalam kelompok kafir?. Apalagi ayat lain dipahami bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau dikawinkan dengan pria Ahli Kitab, sebagaimana yang secara tegas dinyatakan oleh QS. Al Mumtahanah: 10, yang artinya:
“Mereka wanita-wanita muslimah, tiada halal bagi orang kafir, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka,”

Ayat ini walaupun tidak menyebut Ahli Kitab, tetapi istilah yang digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan dan seperti dikemukakan di atas Ahli Kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian walau ayat ini tidak menyebut Ahli Kitab, namun ketidak halalan tersebut tercakup dalam kata-kata orang-orang kafir.
Alasan ulama melarang perkawinan dengan non muslim adalah perbedaan iman. Perkawinan dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis minimal antara pasangan suami-istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin keharmonisan tersebut dapat tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda, Apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri, Apabila bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri . Nilai-nilai mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang. Dalam pandangan Islam, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai tertingi yang tidak bolh dikorbankan. Di sisi lain pandangan hidup ini tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata
Menurut sementara ulama’ walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab(penganut Zahudi dan Nasrani), yakni surah Al Maidah ayat: 5 yang artinya, “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu”. Tetapi izin atau diperbolehkannya perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen) tersebut digugurkan oleh surah Al Baqarah ayat : 221 di atas (M.Quraish Shihab, 1996 : 196). Sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Umar bahkan mengatakan “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah”.

Kemudian akhir dari surah Al Baqaroh ayat: 221 tersebut di atas ditutup dengan,
 •• 
Potongan akhir ayat ini menerangkan bahwa akibat munculnya berbagai permasalahan dari sebab pernikahan antar agama. Itulah kenyataan akhir dari perjalanan mereka, sebagaimana disimpulkan oleh ayat dan sudah tampak ajakannya ke neraka sejak awal disebabkan kecenderungannya memang ke neraka. Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati terhadap ajakan yang membinasakan ini, sebagaimana lanjutan ayat di atas, yang artinya:
“Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al Baqarah: 221)

Ayat di atas mengandung maksud supaya umat Islam dapat mengambil pelajaran, dan selamat dari bujuk rayu dari orang-orang musyrik yang jelas-jelas akan membawa jalan ke neraka dan tetap konsisten untuk menikahi wanita mukmin walau budak sekalipun, namun ia akan dibawa Allah ke jalan surga yang penuh kebahagiaan abadi (M.Quraish Shihab, Vol; 1, 2000 : 445)

IV. PERKAWINAN INTRA AGAMA
Setelah kita membahas bagaimana hukumnya perkawinan dengan wanita atau lelaki musyrik, kemudian bagaimana pula dengan perkawinan intra agama itu sendiri. Dalam surah Al Baqarah ayat; 221 tersebut menerangkan larangan menikahi wanita- wanita musyrik, namun terusan ayat “ حتى يؤمن dan حتى يؤمنوا” mengandung pengertian larangan tersebut berubah menjadi boleh/halal menikahinya apabila wanita atau lelaki musyrik tersebut berubah menjadi beriman atau tauhid (Muhammad Nasib Ar Rifa’i, 1999 : 358).
Sesungguhnya wanita hamba sahaya yang beriman, meskipun tidak berharta dan rendah kedudukannya, lebih baik daripada seorang wanita musyrik merdeka dengan segala kemuliaan kemerdekaan dan kemualiaan nasibnya, meskipun ia sangat menarik hati dengan kecantikan, harta dan kedudukan yang ia miliki serta hal-hal yang dapat menyebabkan seorang lelaki akan terpikat karenanya. Dan lelaki hamba sahaya yang beriman, meskipun tidak berharta dan rendah kedudukannya, lebih baik daripada seorang lelaki musyrik merdeka dengan segala kemuliaan kemerdekaan dan kemualiaan nasibnya, meskipun ia sangat menarik hati dengan ketampanannya, harta dan kedudukan yang ia miliki serta hal-hal yang dapat menyebabkan seorang wanita terpikat karenanya. Sebagaimana dalam ayat:
         dan        
Dengan iman, seorang wanita akan mencapai kesempurnaan agamanya, dan dengan harta dan kedudukannya ia hanya akan memperoleh kesempurnaan dunia saja. Memelihara agama lebih baik daripada memelihara urusan dunia, apabila ia tidak mampu memelihara keduanya.
Kesamaan dalam beragama lebih menjamin terwujudnya rasa kasih sayang dan pengertian antara kedua belah pihak. Dengan demikian, maka terwujudlah kehidupan rumah tangga yang harmonis yang saling menjaga dan memelihara diri dan harta serta mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang baik dan menghiasi anak-anaknya dengan akhlak yang mulia.
Perkawinan sangat dianjurkan dalam Islam, sebaiknya kedua belah pihak “kafa’ah” . Mengenai kafa’ah, para fuqaha telah sependapat bahwa faktor agama/iman termasuk dalam pengertian kafa’ah, kecuali pendapat dari Muhammad bin Hasan yang tidak memasukkan faktor agama dalam pengertian kafa’ah (Ibnu Rusyd, terj. Imam Ghozal, A. Zaidun, 1995 : 33).

V. TUJUAN ALLAH MELARANG PERKAWINAN ANTAR AGAMA DAN MENGANJURKAN PERNIKAHAN INTRA AGAMA (ISLAM)
Ketertarikan seseorang antar lawan jenis hanya semata-mata bersumber dari insting, tidak disertai dengan rasa kemanusiaan yang luhur, dan lebih tinggi dari kedudukan anggota tubuh dan panca indra. Padahal keindahan hati itu lebih tinggi dan lebih mahal. Sehingga, seandainya wanita itu bukan wanita merdeka sekalipun, penisbatannya kepada Islam akan mengangkat derajatnya melebihi wanita musyrikah , bangsawan sekalipun. Karena penisbatannya adalah kepada Allah, penisbatan yang paling tinggi.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu”.

Persoalan ini diulangi penyebutannya dalam bentuk yang berbeda, untuk mengukuhkan dan menjelaskan dengan cermat bahwa illat hukum yang pertama itu juga merupakan illat hukum pada masalah yang kedua, yaitu :
“Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.

Jalan kedua dan misi keduanya berbeda maka bagaimana kedua orang yang berbeda agama ini akan dapat bertemu (luar-dalam) dalam satu kesatuan (perkawinan) untuk membangun kehidupan ?
Jalan laki-laki atau wanita musyrikin adalah ke neraka, seruan mereka juga ke neraka, Sedang jalan laki-laki mukmin atau wanita mukminah adalah jalan Allah, yaitu jalan yang menuju surga dan ampunan dengan izin-Nya. Kalau begitu jelas sekali jauhnya perbedaan antara ajakan mereka dengan ajakan Allah.
Itulah kenyataan akhir dari perjalanan mereka, sebagaimana disimpulkan oleh ayat dan sudah tampak ajakannya ke neraka sejak awal disebabkan kecenderungannya memang ke neraka. Allah memperingatkan manusia agar berhati-hati terhadap ajakan yang membinasakan ini, sebagaimana lanjutan ayat di atas, yang artinya:
“Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (Al Baqarah: 221)

Barang siapa yang tidak mau mengambil pelajaran dan tetap mengikuti ajakan laki-laki musyrik dan wanita musyrikah walaupun menakjubkan baik dari aspek ketampanan/kecantikan, tingginya kedudukan dan status sosialnya seta kekayaan yang dimilikinya itu, maka celakala dia.
Dengan penjelasan di atas kita dapat mengerti tujuan mengapa Allah melarang mengawini laki-laki musyrik atau wanita musyrikah dan menganjurkan mengawini laki-laki atau wanita sesama mukmin walaupun mereka itu budak, yang mana laki-laki musyrik atau wanita musyrikah ajakannya ke neraka sejak awal disebabkan kecenderungannya memang ke neraka. Sedangkan laki-laki mukmin atau wanita mukminah adalah jalan Allah, yaitu jalan yang menuju surga dan ampunan dengan izin-Nya. Kalau begitu jelas sekali jauhnya perbedaan antara ajakan mereka dengan ajakan Allah.
Selanjutnya alasan dan tujuan larangan perkawinan dengan non muslim adalah agar terjalinnya hubungan yang harmonis, minimal antara pasangan suami istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh keduanya berbeda, sebab nilai-nilai sangat mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang dalam hal ini suami-istri. Dalam pandangan Islam nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai yang tertinggi, yang dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh dikorbankan. Ia harus dilestarikan dan diteruskan serta diwariskan ke anak cucu. Kalau nilai ini tidak dipercayai oleh salah satu pasangan, maka bagaimana ia dapat diteruskan kepada anak cucu?
Tujuan yang lain dari larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda adalah harapan akan tarwujudnya sakinah dalam keluarga, kelanggengan dan ketraman hidup. Terhindarnya kehancuran dan keretakan keluarga serta yang paling bahaya rusaknya iman dan aqidah yang suci, yang paling mahal harganya. Hal ini dapat dilihat adanya munculnya fenomena yang menimpa sebagian pemuda Mesir, yang lebih suka bercumbu dan memilih kawin dengan wanita-wanita asing(musyrik). Sebaliknya, bahaya dan bencana ini semakin mengancam mereka sebab penyakit ini telah menjalar pada wanita-wanita muslimat yang berpendidikan dan berada. Mereka lebih mencintai pemuda-pemuda asing dan memilih kawin dengannya, tanpa menghiraukan dan tanpa rasa takut terhadap agamanya. Para pemuda muslimnya telah mengabaikan wanita-wanita dalam negeri yang mukminah dan suci. Akibatnya agama dan rasa kebangsaan mereka menjadi rusak, hubungan persaudaraan antara suami dan keluarganya menjadi putus. Dan dalam tempo yang singkat kehidupan rumah tangganya telah berubah menjadi neraka jahanam, kesedihan dan siksaan. Sehingga banyak diantara mereka terpaksa mentalak istri-istrinya yang telah mengeluarkan biaya yang banyak. Dan bagi yang masih ingin mempertahankan perkawinannya, terpaksa mereka harus menutup rapat-rapat, membuang harga dirinya jauh-jauh, hilang rasa cemburu dan rasa kejantanan yang merupakan sebaik-baik tabiat lelaki.
Meskipun pernikahan lintas agama ini tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, namun fenomena semacam ini terus berkembang di negara kita yang kita cintai ini. Kita bisa melihat baik dari media masa maupun media elektronik, banyak sekali selebritis yang melakukan pernikahan dengan pasangan yang tidak seagama. Sebagai contoh, Jamal Mirdad seorang Muslim, menikah dengan Lidia Kandaw yang beragama Kristen; Nurul Arifin (Muslimah), dengan Mayong (Katholik); Ina Indayati (Muslimah), menikah dengan Jeremi Thomas yang beragama Kristen; Frans Lingua (Kristen), menikah dengan Amara (Islam); Yuni Shara (Muslimah) menikah dengan Hendry Siahaan (Kristen); Ari Sigit (Muslim) menikah dengan Rica Callebout (Kristen); Ari Sihasale (Kristen) menikahi Nia Zulkarnain yang beragama Islam. Pernikahan Dedy Corbuzer yang beragama Katholik dengan Kalina yang beragama Islam. Selain itu, tentunya masih sangat banyak peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media. Umumnya, selain undang-undang yang berlaku di Indonesia, ajaran agama ternyata sedikit banyaknya juga menjadi “penghalang” pernikahan. Sehingga di antara mereka sebagian besar berinisiatif melakukan perkawinan di luar negeri, atau cara lain yaitu mengadakan perkawinan menurut agama kedua belah pihak. Selain itu banyak juga pasangan yang melaksanakan akad perkawinan lintas agama di Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil mau melaksanakan perkawinan ini berdasarkan kebijakan yang mereka ambil sendiri dengan dasar pemikiran “dari pada mereka hidup bersama di luar perkawinan, lebih baik Catatan Sipil meresmikannya saja”. Namun pihak-pihak yang akan melaksanakan akad harus membawa surat dispensasi dari Pegawai Pencatat Nikah atau dari Departemen fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1980 yang menyatakan bahwa perkawinan lintas agama tidak absah. Pada dasarnya peraturan-peraturan ini tidak dapat mencegah atau menjawab realitas yang berkembang di masyarakat, apalagi dengan kenyataan pluralitas dan kemajemukan masyarakat Indonesia, fenomena pernikahan lintas agama semakin banyak ditemukan.
Kalau sudah demikian keadaannya ia tidak akan mendapatkan ketentraman/kesakinahan yang sesungguhnya, dan bagaimana pula ia mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.

VI. KESIMPULAN / PENUTUP
Dari rangkaian pembahasan tentang pernikahan menurut Al Qur’an surah Al Baqarah ayat : 221 tersebut penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa haram mengawini perempuan musyrikah penyembah berhala yang tidak memiliki kitab samawi.
2. Bahwa haram mengawinkan laki-laki kafir (penyembah berhala dan Ahli Kitab) dengan perempuan-perempuan muslimah.
3. Yang membedakan di antara manusia dalam penilaian Allah adalah amalnya yang saleh, maka perempuan/laki-laki walaupun hamba mukmin adalah lebih mulia daripada perempuan/laki-laki merdeka yang memiliki kecantikan/ketampanan, berharta dan punya kedudukan yang tinggi namun musyrik.
4. Boleh laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli Kitab (Zahudi dan Nasrani) apabila tidak ada kekhawatiran membahayakan keimanan dirinya dan anak-anaknya kelak. Sebagaimana kekhawatiran Umar terhadap sahabat Thalhah dan Zubair yang mengawini perempuan Ahli Kitab (Zahudi dan Nasrani), hingga akhirnya Umar menyuruh keduanya untuk melepaskannya, agar tidak diikuti kaum muslim yang lain.
5. Laki-laki/perempuan musyrik berusaha dengan susah payah untuk menarik perempuan/laki-laki mukmin menjadi kufur kepada Allah, maka tidaklah patut mempertemukan antara keduanya (dalam ikatan pernikahan)
6. Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Bagaimana mendidik anak-anak mereka.karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.
Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan.
7. Kita harus memahami bahwa wanita/pemuda musyrik senantiasa akan mengajak ke jalan neraka ( ألئك يدعون الى النار ) , sementara Allah mengajak kejalan surga dan pengampunan-Nya ( والله يدعوا الى الجنة والمغفرة بإذنه). Sikap yang baik adalah tidak melakukan perkawinan beda agama apabila tidak mampu menjadi pengendali istri atau suami dengan segala perangkat pendukungnya yang menjadikan sebab istri/suami menjadi taat kepadanya dan mengikutinya, misalnya; status social, kedudukan, keilmuan, psikilogis, dan lain-lain lebih tinggi dari pasangannya, walaupun perkawinan tersebut ada juga manfaatnya (bila mampu mengajak pasangannya menjadi beriman). Sebagaimana kaidah ushul fiqh mengilangkan/menutupi kemadharatan yang banyak itu lebih diutamakan dari pada mendatangkan kemaslahatan yang sedikit.






















DAFTAR PUSTAKA



Abdul Aziz Dahlan, 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Abdul Rahman I. Doi, 1996. Perkawinan dalam Syariat Islam. Cet. 2, Jakarta: PT Rineka Cipta
Anshori Umar Sitanggal, 1993. Terjemahan Tafsir Al Maragi jld.2, Semarang: Toha Putra
Depag, t.t., Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra
Ibnu Rusyd, 1995. Bidayatul Mujtahid. Cet. 1, terj. Imam Ghozali Said dan A. Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani
Mahmud Yunus, 1983. Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali. Cetakan 10. Jakarta: PT Hidakarya Agung.
M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al Qur’an, Bandung: Mizan
Mu’ammal Hamidy, Imron A. Manan, 1985. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni, Surabaya: Bina Ilmu
Muhammad Nasib Ar Rifa’i, 1999. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Cet. 1, Terj. Syihabuddin, Jakarta: Gema Insani Press
Rohadi Abu Bakar, 1986. Terjemah Asbabun Nuzul, Semarang: Wicaksana-Berkah Ilahi
Salma Zuhriyah, Pernikahan beda agama – Tinjauan Hukum Islam – Hukum Negara, kutipan dari http://tafany.Com , tanggal 23 Maret 2009
Sayyid Quthb, 2000. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di bawah naungan Al Qur’an, Jld.2, terj. As’ad Yasin dkk, Jakarta: Gema Insani Press
______, 1977. Al Munjid fi al lughah, Beirut: Darul Masyriq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar