Jumat, 14 Januari 2011

SEBEB-SEBAB TERJADINYA STAGNASI PEMIKIRAN USHUL FIQH

SEBEB-SEBAB TERJADINYA STAGNASI PEMIKIRAN
USHUL FIQH
Oleh : M. Muhtarom

I. PENDAHULUAN
Bagi setiap muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya harus sesuai dengan kehendak Allah, sebagai realisasi dari bentuk keimanan kepada-Nya. Kehendak Allah tersebut dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disampaikan oleh Nabi-Nya (Al Qur’an), dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut dengan sunah-sunahnya.
Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia, di kalangan ahli ushul disebibut “hukum syara’ “ , sedangkan bagi kalangan ahli fiqh, hukum syara’ adalah pengaruh titah Allah tersebut terhadap perbuatan manusia.
Seluruh titah atau kehendak Allah terhadap manusia pada dasarnya sudah terdapat dalam Al Qur’an dan penjelasan hadis Nabi, tidak ada yang lupu satupun dari Al Qur’an. Namun Al Qur’an itu bukanlah kitab hukum menurut pengertian ahli fiqh, karena di dalamnya hanya mengandung titah dalam bentuk suruhan dan larangan atau ungkapan lain yang bersamaan dengan itu; dengan istilah lain, Al Qur’an itu mengandung norma hukum. Untuk memformulasikan titah Allah itu ke dalam hukum syara’ diperlukan suatu usaha pemahaman dan penelusuran.
Tiap-tiap pribadi muslim harus mengerti dengan baik, apa-apa yang halal dan yang haram. Mereka difardhukan menuntut ilmu sejak belum baligh, sehingga ketika memasuki masa baligh, mereka walaupun masih sangat terbatas pemahamannya sudah mengrti tentang hukum-hukum. Bahkan seorang pemimpin boleh memaksakan rakyatnya untuk belajar dan mengkoordinir tenaga pengajar yang ditugasi untuk mendidik orang-orang awam di berbagai daerah dan menggajinya dengan uang dari baitul mal atau kas negara .
Secara garis besar, ada dua bentuk karakteristik hukum syara’ dari penunjukannya terhadap hukum , antara lain:
1. Hukum syara’ yang dapat dipahami dengan mudah, karena titah Allah itu cukup jelas artinya dan pasti tujuannya, misalnya; bentuk larangan berkata kasar kepada orang tuanya, wudhu merupakan prasyarat yang harus dilakukan sebelum melaksanakan salat, orang yang melakukan perbuatan zina dikenai sangsi dera seratus kali dan lain sebagainya.
2. syara’ yang tidak dapat ditemukan dari apa yang tersurat dalam Al Qur’an secara jelas, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan maksud sebuah lafadz, atau dengan kata lain hukum itu tersirat dibalik lafadz tersebut, misalnya; hukum memukul orang tua, tidak terdapat dalam Al Qur’an, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang tua. Alasannya berkata kasar saja dilarang apalagi memukulnya, dsb.

Usaha yang sungguh-sunguh untuk mengetahui dugaan tentang hukum syara’ dengan mengerahkan daya nalar dengan dukungan ilmu dan melalui cara-cara istinbath disebut dengan ijtihad . Pendapat yang lain mengatakan bahwa ijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu.
Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini: Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Ijtihad ini dimulai sejak dari keberadaan hukum Islam, yaitu semenjak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah ijtihat telah berlaku pada masa Nabi. Hal ini dapat dipahami bahwa ijtihad itu diperlukan pada waktu tidak menemukan petunjuk Allah secara jelas tentang suatu masalah dan tidak ditemukan pula petunjuk dari Nabi, sedangkan selama Nabi masih hidup tidak mungkin petunjuk secara nash sudah tidak ada lagi, sedang ayat Al Qur’an masih turun dan Nabi masih dapat menyampaikan petunjuknya.
Namun pendapat bahwa ijtihad sudah dimulai sejak Nabi dengan alas an bahwa dalam banyak kasus ditemukan Nabi sendiri dalam menghadapi suatu masalah sering menggunakan daya nalarnya sebagaimana yang lazim dilakukan seorang mujtahid dalam menghadapi masalah hukum.
Pendapat ini diperkuat lagi ketika peristiwa Nabi mengangkat Mu’ad bin Jabal sebagai gubernur di Yaman. Nabi mengetes Mu’ad bin Jabal tentang bagaimana jika menghadapi masalah hukum, jawab Mu’ad dengan menggunakan Al Qur’an, bila tidak ditemukan, dengan hadis, bila tidak ditemukan juga, Mu’ad menjawab ,“Dengan menggunakan akalku”. Jawaban Mu’ad tersebut dibenarkan Nabi. Hal ini menjadi dasar kuat pendapat bahwa ijtihad itu sudah sejak zaman Nabi masih hidup.
Ijtihad mengelami perkembangan yang sangat pesat seiring dengan tuntutan keadaan dengan perkembangan wilayah Islam yang semakin luas dan permasalahan-permasalahan hukum yang muncul secara komplek dan dituntut harus segera dapat diselesaikan dengan syara’ yang benar. Perkembangan ijtihad tersebut dapat diklasifikasikan dari kurun masanya;
1. Ijtihad pada masa Nabi
2. Ijtihad pada masa Sahabat
3. Ijtihad pada masa Tabi’in
4. Ijtihad pada masa imam mazhab

Pada masa imam mazhab ini, muncul berbagai imam mazhab yang sangat masyhur, diantaranya; mazhab iman Abu Hanifah, mazhab imam malik, mazhab imam Hambal dan imam Syafi’i. Karena kemasyhuran para imam mazhab tersebut muncullah bentuk fanatisme terhadap imam mazhab masing-masing. Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran, menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan perpecahan dikalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.
Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i memegang
kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa. Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua golongan.
Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah
pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata: "Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian
terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku diantara kami kami."


II. PENGERTIAN STAGNASI PEMIKIRAN USHUL FIQH
Kata stagnasi adalah berasal dari bahasa Inggris, dari kata “stagnant” artinya yang diam tidak mengalir, atau juga “stagnancy” yang berarti keadaan diam/tagnan tanpa perubahan . Dalam bahasa arab “mauquf / mauqifun harijun” yang berarti “situasi yang krisis”,
Stagnasi pemikiran fiqh-ushul fiqh berarti suatu masa dalam kondisi krisis dalam perkembangan pemikiran fiqh-ushul fiqh (setelah wafatnya empat imam mujtahid yang termashur). Situasi ini dipengaruhi dengan tidak muncul ulama’-ulama’ setingkat empat imam tersebut, lebih-lebih diperparah lagi dengan campur tangan pemerintah(faktor politik) dalam tujuan mampertahankan status qou, perebutan para imam menjadi qodhi negara, lemahnya para ulama yang memunculkan fanatisme terhadap pemikiran imam mazhab.

III. PENUTUPAN PINTU IJTIHAD
Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil (mujtahid independen) .
Menurut para pengikut madzhab Syafi'iy dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky, meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil, tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.
Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad. Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab, terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan kesimpulan furu'iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib, mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya; atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat imam yang bermacam-macam itu.
Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan seperti keempat imam itu.
Sebaliknya, menurut Abu Zahrah, di kalangan Syi'ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana pun: "Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan pintu ijtihad". Bahayanya banyak berakibat pada terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini.

IV. SEBAB-SEBAB TERJADINYA STAGNASI
Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam menghadapi umara. Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab penguasa.
Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah, para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari pada mengembanghannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi "ketertiban dan keamanan".
Di sisi lain, Dr. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan Ashar. "Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad saw. Mereka menyalahi al-Qur'an yang menyatakan bahwa shalat itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya." Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid'ah orang Syi'ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. "Tidak benar," kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya. Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, "Ini khusus untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah bolehlah engkau melakukannya." Pemuda itu bermaksud menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian), tetapi ia mengurungkan maksudnya.
Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh al-Kaydani.
Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama -menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri' disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh ('ashr al-rukud).
Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu: Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran, Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu: Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran, dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang.
Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara' dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu, menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij, tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di antara tokoh-tokoh madzhabnya Ia tidak melihat kepada syari'at dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah sebelumnya mempelajari al-Qur'an, al-Sunnah, pokok-pokok dan maksud-maksud syara'.
Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur'an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.
Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama .

V. KARAKTERISTIK ZAMAN STAGNASI
Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia, fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran al-Qur'an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur'an misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para sahabat, tabi'in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi al-ma'tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami', al-masanid, al-ma'ajim, al-mustadrakat dan sebagainya. Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi hadits, ilmu jarh wa ta'dil dan riwayat para sahabat. Para pengikut secara terus-menerus membukukan dan menulis fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid tersebut.
Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah tradisi membuat syarah (komentar) dan matan.
Maksudnya untuk memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik, atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, diketahui paling tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary, Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah al-Muwatha susunan Imam Malik.
Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah (diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi'i menyerang tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya. Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing masing. Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran Syi'ah. Ulama Syi'ah membalasnya dengan menulis kitab lagi. Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah lagi oleh al-Mar'asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah berlangsung sejak zaman para imam madzhab.
Imam Syafi'i, misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad ibn al-Hasan al Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan, munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah al-Karkhy ketika ia berkata, "setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus dita'wilkan atau dimansukhkan.
VI. BOLEHKAH ADA MASA YANG KOSONG DARI MUJTAHID ?
Sebagian dari golongan Syafi’iyah menetapkan, bahwa mujtahid tidak diperbolehkan lagi sesudah berlalunya imam empat. Menurut Az Zarkasy dalam kitab Al Bahr berpendapat boleh dan mungkin ada saja suatu masa kosong dari mujtahid. Diantara yang berkata hal demikian adalah Ar Rifa’i (624 H). Beliau mengatakan sepertinya umat sepakat menganggap bahwa pada waktu ini tidak ada mujtahid. Bahkan dalam kitab Irsyad al-fuhul dikutip pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa waktu ini tidak ada mujtahid. Juga dinukilkan pendapat al-Ghazali yang mengatakan bahwa telah kosong masa ini dari mujtahid mandiri. Menurut al-Amidi, pendapat yang mengatakan bahwa boleh saja terjadi kekosongan mujtahid adalah pendapat yang terpilih.
Ulama’ yang berpendapat adanya masa kekosongan mujtahid, yang mereka maksud adalah mujtahid mutlaq dengan kualifikasi persyaratan yang harus dimilikinya. Memang kalau yang dimaksud adalah mujtahid mutlaq sekelas Abu Hanifah dan Asy Syafi’i, jelas tidak segala zaman memiliki mujtahid yang demikian.
Kata sebagian besar dari golongan Hanbaliyah berpendapat bahwa, tidak boleh dan tidak mungkin ada masa yang kosong dari seorang mujtahid. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Ishak dan al-Zuhair. Abu Ishak menghubungkan hal ini kepada segolongan fuqaha’; artinya bahwa sekiranya Allah mengosongkan suatu masa dari orang yang menegakkan hujjah agama, maka taklif atau beban hukum akan hilang, karena taklif itu tidak mungkin tetap ada kecuali dengan adanya hujjah yang jelas, maka batallah syari’at.
Golongan yang menolak kemungkinan ada masa yang kosong dari mujtahid, mengemukakan dalil dan hadis Nabi yang mengatakan bahwa, “Senantiasa ada dari umatku yang menegakkan kebenaran yang jelas hingga hari kiamat”.
Alasan yang berpendapat bahwa tidak boleh ada masa kekosongan dari ulama’ mujtahid, mengatakan bahwa kemungkinan menjadi mujtahid di masa kini justru sangat besar kebutuhannya.

VII. KESIMPULAN
Setelah membaca dan memahami penjelasan mengenai masa stagnasi pemikiran fiqh-ushul fiqh di atas kita dapat memahami perbedaan sikap para ulama dalam menghadapi situasi tersebut. Perbedaan sikap para ulama’ sangat dipengaruhi dari cara pendekatan pemikiran yang berbeda.
Kita dapat mengampil sikap komprehensif dan lebih fleksibel serta pragmatis dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul saat sekarang dan masa yang akan datang, sehingga mampu mengimplementasikan syara’/ titah Allah dalam kehidupan kita, atau boleh dikatakan kita mampu membumikan syara’ dalam kehidupan nyata.
Allah menjadikan syara’ untuk umat manusia bersifat mutlaq dan abadi serta praktis. Kemampuan dan kemauan kita dalam usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum (istinbath) dari sumber hukum (Al Quran dan Sunnah) sangat diharapkan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang lebih komplek dan fareatif pada masa globalisasi saat ini.

VIII. PENUTUP
Demikian urain singkat tentang masa stagnasi pemikiran fiqh-ushul fiqh yang merupakan salah satu mata rantai perkembangan ilmu fiqh-ushul fiqh, dan berbagai pandangan mensikapi masa tersebut, mudah-mudahan dapat memperluas wacana pemikiran kita untuk menghadapi masa kini dan masa yang akan datang dengan berbagai permasalahan yang lebih komplek.





DAFTAR PUSTAKA


Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet . 5, 2009
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawir Kamus Arab-Indonesia, Tidak ditemukan penerbitnya, Yogyakarta, 1984
Alabik Ali, Kamus Inggris Indonesia Arab, Multi Karya Grafika, Yogyakarta, th 2003
Amir Sa’id Az Zaibari, Kiat Menjadi Pakar Fiqh, CV. Gema Rialah Press, Bandung, Cet. 1, 1998
http:// www.aliciakomputer.co. cc. Mukhtashar Ilmu Ushul Fiqh. Tanggal tidak ditemukan, September 2009
http://www. Abunawas. Co.tv/2009/12/ Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh. Tanggal tidak ditemukan.
Jalaluddin Rahmat, http://media.inset.org/Islam/Paramadina/Kontak/Sejarah Fiqh 07 html. tidak ditemukan tanggal dan bulannya
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jld. 1, Bulan Bintang, Jakarta, cet. 6, Th.1980

Tidak ada komentar:

Posting Komentar